Translate

Monday, May 14, 2012

Books "VANISHING GIRL"


Judul Buku : The Boy Sherlock Holmes 3rd Case – VANISHING GIRL
Copyright © 2009 by Shane Peacock
Penerbit Noura Books 
Alih Bahasa : Maria Lubis
Editor : Ananta & Dini Handayani
Illustrasi Isi & Sampul : Sweta Kartika
Cetakan I : April 2012 ; 4222 hlm  
Rate : 3,5 of 5 

Sinopsis :
Pada suatu siang hari bolong pada pertengahan bulan Juli, masyarakat Inggris dikejutkan dengan peristiwa penculikan Victoria Rathbone – gadis berusia empat belas, putri tunggal Lord Rathbone, anggota terhormat Majelis Tinggi dan penasihat kabinet Perdana menteri Derby dalam bidang hukum. Semua berpikir penculikan tersebut berkaitan dengan kegigihan Lord Rathbone dalam memperjuangkan hukuman ekstrem terhadap para kriminal. “Jangan pernah memberikan keringanan kepada mereka,” adalah motonya yang terukir pada plakat di meja kerjanya.  

Dan hal itu dibuktikan dengan tidak menanggapi berbagai saran serta anjuran guna menemukan putrinya. Lord Rathbone tidak bergeming dalam menghadapi ancaman dari para kriminal. Yang menjadi teka-teki bukan hanya sikap keras-kepala Lord Rathbone, tapi juga tidak muncul satu pun petunjuk termasuk sebuah surat permintaan tebusan yang menunjukkan bahwa Victoria Rathbone memang diculik. Pihak Kepolisian Metropolitan London menghadapi misteri yang tak terpecahkan, bulan berganti bulan, masih tak ada tanda-tanda di mana Victoria berada...atau bagaimana nasibnya sekarang.

Kemudian pada suatu hari beberapa bulan kemudian, muncul berita aneh : sepucuk surat dialamatkan kepada Lord Rathbone, surat permintaan tebusan yang sudah dinanti-nanti sekian lama, meminta sejumlah tebusan yang sangat tinggi demi keselamatan nyawa Victoria. Pihak kepolisian yang menyelidiki kasus tersebut di bawah pimpinan Inspektur Lestrade akhirnya berhasil meyakinkan Lord Rathbone untuk bekerja sama menangkap sang penculik, dan langkah pertama yang ia lakukan adalah mengadakan ‘jumpa-pers’ untuk memancing si penjahat.

Masyarakat berbondong-bondong mendatangi acara tersebut. Mereka saling berspekulasi tentang peristiwa yang hampir dilupakan namun mengandung misteri yang mengundang kembali rasa ingin tahu – apa sebenarnya yang terjadi pada Victoria. Dan diantara gerombolan orang yang menghadiri acara tersebut, ada sosok pemuda kurus dengan tatapan tajam yang menyembunyikan ‘gairah’ yang bergejolak di hatinya – keinginan untuk menegakkan keadilan dan memperoleh kembali ‘janji-ketenaran’ yang diimpikannya. Pemuda itu adalah Sherlock Holmes – yang mengalami perseteruan serta persaingan sengit dengan Inspektur Lestrade dalam berbagai kasus-kasus kejahatan besar. 

Sherlock berhasil memecahkan misteri serta menangkap Geng Brixton, komplotan penjahat yang paling di cari di Inggris. Tapi segala taktik dan strategi untuk memperkenalkan ‘namanya’ pada dunia, kali ini berhasil kembali “dibungkam” oleh Inspektur Lestrade. Sherlock yang hampir saja kehilangan nyawa akibat tindakan nekadnya, justru mendapati pada akhir kasus besar yang diimpikanya, ia tak mendapatkan apa pun – termaksud uang jasa yang semula hendak digunakan untuk membantu Mr. Sigerson Bell, majikan sekaligus mentor yang memahami impian serta pemikirannya. Untunglah datang bantuan dari The Swallow, pemain trapezze terkenal yang terlibat dalam kasus Geng Brixton, dan ia memberikan rekomendasi pada semua kenalannya sehingga Mr. Sigerson Bell mampu membayar hutang yang melilit dirinya. 

Sherlock menemukan sebuah petunjuk penting, yang membawanya menelusuri jejak sampai ke luar dari wilayah London, menempuh perjalanan jauh yang rumit dan berbahaya, membuatnya dikejar-kejar oleh pihak berwajib sebagai penyelundup. Dan semuanya dilakukan dengan penuh tekad serta dendam membara, pada Inspektur Lestrade yang telah menghina serta mengungkit ‘luka-hati’ akibat kematian ibunya, serta hubungan tarik-ulur yang terjadi antara dirinya dengan Irene Doyle, yang entah bagaimana selalu kembali melibatkan sosok Malefactor – pemuda pimpinan Anak-Anak Jalanan di London. 


Anehnya untuk kali ini Irene Doyle memang memiliki peranan cukup penting dalam misteri lenyapnya Victoria Rathbone. Menurut kisah yang diceritakan olehnya kepada Sherlock di kemudian hari ... ia dan ayahnya Mr. Andrew Doyle, yang terlibat dalam kegiatan sosial membantu anak-anak yatim-piatu, suatu hari bertemu dengan bocah cilik bernama Paul Waller – yang menderita penyakit aneh sehingga perlahan namun pasti, ia akan mengalami kebutaan total jika tak segera diobati. 

Bocah ini mengingatkan Irene dan ayahnya atas kematian saudara laki-laki serta putra kesayangan Mr. Doyle yang telah meninggal karena sakit semasa kecil, dan wajah Paul Waller sangat mirip dengan putra keluarga Doyle yang telah meninggal sekian lamanya. Sebelum penculikan Victoria, Irene beserta ayahnya datang ke kediaman Rathbone, memohon bantuan pada Lord Rathbone untuk mengijinkan dokter pribadinya mengobati bocag malang itu ... namun belum sempat hal itu terlaksana, peristiwa menggemparkan terjadi, dan keluarga Rathbone menutup diri dari khalayak, tidak menerima kunjungan dari siapa pun ... dan kondisi Paul Waller semakin memburuk. 

Kesan :

 
"Sherlock & Mr. Bell "illustrasi by Sweta Kartika

Kelanjutan kisah petualangan Sherlock Holmes semasa muda kali ini dibuka dengan menunjukkan suatu peristiwa yang melibatkan Irene Doyle – gadis cantik yang memiliki pengaruh dalam perjalanan hidup Sherlock Holmes. Semula diriku berharap akan mendapat sedikit ‘pencerahan dan kejelasan’ berkaitan dengan hubungan antara keduanya ... tapi ternyata Irene Doyle kembali merupakan sebuah misteri yang lumayan ‘menjengkelkan’ ( bagi diriku terutama) dan tidak ada satu kejelasan apa sebenarnya peran dirinya, seakan hanya sebagai suatu pancingan belaka untuk menarik minat pembaca ...

Tapi terlepas dari rasa ‘tidak-senang sekaligus jengkel’ dengan karakter ini, syukurlah bahwa penulis mengembangkan karakter Sherlock Holmes ke arah yang lebih “menjanjikan” dan mendekati sifat orisinal yang dikembangkan oleh Sir Arthur Conan Doyle. Bukan mau membandingkan, tetapi memang cukup sulit menulis tentang sosok karakter yang sangat dikenal oleh masyarakat luas – terutama para Sherlockian ( para penggemar berat Sherlock Holmes ). 

Sherlock Holmes yang pada kedua buku sebelumnya digambarkan sebagai bocah emosional dan sering bertindak tanpa berpikir panjang, kali ini mulai menunjukkan kematangan dalam berpikir, mulai bisa menimbang beberapa prioritas yang harus dilakukannya, meski kadar kenekatannya justru semakin bertambah. Semenjak awal kisah ini, entah bagaimana diriku sudah bisa menebak bagaimana ending atau setidaknya ke arah mana jalur kisah ini akan dibawa – sehingga tiada suatu misteri yang menyelimuti kisah ini, lebih sebagai kisah thriller yang lumayan menegangkan. 

Jadi ada poin plus maupun minus dalam buku ke-3 dari serial ini. Apakah diriku cukup terpuaskan ? Jawabanku tidak, karena tidak sesuai harapanku (^_^), tapi cukup lumayan menghibur dan berharap di buku ke-4 pengembangan karakter Sherlock Holmes semakin dipoles dan ‘tidak-harus-sesuai’ dengan karakter orisinalnya ... terbukti di sini sosok Sherlock lebih menurutkan kata hati dan emosi ( sesuatu yang bakal ditertawakan oleh karakter orisinalnya, karena Sherlock selalu mengganggu rekanya Dr. Watson sebagai sosok romantis dan emosional, faktor-faktor yang tidak dibutuhkan dalam suatu penyelidikan ), akan tetapi jangan salah menafsirkan – karena diriku cukup lumayan menyukai perbedaan ini, menunjukkan bahwa Sherlock Holmes juga memiliki sisi manusiawi, dengan rasa iri, dendam, putus asa, serta tekad mewujudkan Impian dan janjinya pada sang ibu – satu-satunya orang yang memahami dirinya, dan tewas terbunuh dalam usaha membantu putra tercintanya. 

"Victoria Rathbone" illustrasi by Sweta Kartika

Satu-satunya yang ingin kuhindari atau mungkin sebaliknya segera diakhiri, hubungan Sherlock dengan Irene Doyle, karena meski diriku juga sesama ‘wanita’ – tapi dari buku pertama hingga buku ketiga ini, semakin lama kadar simpatiku pada Irene Doyle semakin menipis hehe ... why ? Karena ia sangat ‘plin-plan’ dan tidak terbantu dengan sikap Sherlock yang kaku dan tidak bisa luwes jika berhubungan dengan wanita ( kecuali mendiang ibunya ), dan Irene Doyle adalah wanita cantik dan sangat cerdas ( sesuatu yang juga menarik perhatian Sherlock, karena ia tak akan tertarik pada wanita cantik berotak kosong ) ... dan sangat manipulatif meski masih berusia muda. 

Sebelum kuakhiri kisah petualangan ini, perlu kuingatkan, dari segala “ocehan” dan keluh-kesah tentang kisah ini ... endingnya sangat aku sukai, memberikan suatu pengharapan positif bahwa Young Sherlock Holmes akhirnya menyadari apa sebenarnya tujuan hidup serta misinya – bukan sekedar mengungkap kejahatan dan mencari ketenaran belaka, so I can’t wait for the next books !!!  

Tentang Penulis :


Shane Peacock lahir di Thunder Bay, Ontario tahun 1957. Ia memulai karir menulisnya sebagai seorang jurnalis dan menerbitakan beberapa hasil tulisannya di Saturday Night, Reader’s Digest dan Sport Illustrated. Karyanya “The Boy Sherlock Holmes”, telah meraih beberapa penghargaan, di antaranya :
·         Booklist “Top Ten in Young Mysteries”
·         Pemenang Arthur Ellis Award for Juvenile Crime Fiction
·         Pemenang Medali Emas dalam Penghargaan Foreward Magazine’s Book of the Year
·         Pemenang Penghargaan IODE’s Violet Downey Book
Saat ini Shane tinggal dengan istrinya, Sophie Kneisel, dan ketiga anaknya di sebuah lahan pertanian dekat Cobourg, Ontario. Di saat senggangnya, Shane suka bermain hoki, membaca buku dan berimajinasi bahwa dirinya adalah pahlawan dalam setiap cerita.  

Best Regards,
* HobbyBuku * 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...