Judul Buku :
The Boy Sherlock Holmes 3rd Case – VANISHING GIRL
Copyright ©
2009 by Shane Peacock
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa
: Maria Lubis
Editor : Ananta & Dini Handayani
Illustrasi
Isi & Sampul : Sweta Kartika
Cetakan I : April 2012 ; 4222 hlm
Rate : 3,5 of 5
Rate : 3,5 of 5
Sinopsis :
Pada suatu siang hari bolong pada pertengahan bulan Juli, masyarakat
Inggris dikejutkan dengan peristiwa penculikan Victoria Rathbone – gadis berusia
empat belas, putri tunggal Lord Rathbone, anggota terhormat Majelis Tinggi dan
penasihat kabinet Perdana menteri Derby dalam bidang hukum. Semua berpikir
penculikan tersebut berkaitan dengan kegigihan Lord Rathbone dalam
memperjuangkan hukuman ekstrem terhadap para kriminal. “Jangan pernah memberikan keringanan kepada mereka,” adalah motonya
yang terukir pada plakat di meja kerjanya.
Dan hal itu dibuktikan dengan tidak menanggapi berbagai saran serta anjuran
guna menemukan putrinya. Lord Rathbone tidak bergeming dalam menghadapi ancaman
dari para kriminal. Yang menjadi teka-teki bukan hanya sikap keras-kepala Lord
Rathbone, tapi juga tidak muncul satu pun petunjuk termasuk sebuah surat
permintaan tebusan yang menunjukkan bahwa Victoria Rathbone memang diculik. Pihak
Kepolisian Metropolitan London menghadapi misteri yang tak terpecahkan, bulan
berganti bulan, masih tak ada tanda-tanda di mana Victoria berada...atau
bagaimana nasibnya sekarang.
Kemudian pada suatu hari beberapa bulan kemudian, muncul berita aneh : sepucuk
surat dialamatkan kepada Lord Rathbone, surat permintaan tebusan yang sudah
dinanti-nanti sekian lama, meminta sejumlah tebusan yang sangat tinggi demi
keselamatan nyawa Victoria. Pihak kepolisian yang menyelidiki kasus tersebut di
bawah pimpinan Inspektur Lestrade akhirnya berhasil meyakinkan Lord Rathbone
untuk bekerja sama menangkap sang penculik, dan langkah pertama yang ia lakukan
adalah mengadakan ‘jumpa-pers’ untuk memancing si penjahat.
Masyarakat berbondong-bondong mendatangi acara tersebut. Mereka saling
berspekulasi tentang peristiwa yang hampir dilupakan namun mengandung misteri
yang mengundang kembali rasa ingin tahu – apa sebenarnya yang terjadi pada
Victoria. Dan diantara gerombolan orang yang menghadiri acara tersebut, ada
sosok pemuda kurus dengan tatapan tajam yang menyembunyikan ‘gairah’ yang
bergejolak di hatinya – keinginan untuk menegakkan keadilan dan memperoleh
kembali ‘janji-ketenaran’ yang diimpikannya. Pemuda itu adalah Sherlock Holmes –
yang mengalami perseteruan serta persaingan sengit dengan Inspektur Lestrade
dalam berbagai kasus-kasus kejahatan besar.
Sherlock berhasil memecahkan misteri serta menangkap Geng Brixton, komplotan
penjahat yang paling di cari di Inggris. Tapi segala taktik dan strategi untuk
memperkenalkan ‘namanya’ pada dunia, kali ini berhasil kembali “dibungkam” oleh
Inspektur Lestrade. Sherlock yang hampir saja kehilangan nyawa akibat tindakan
nekadnya, justru mendapati pada akhir kasus besar yang diimpikanya, ia tak
mendapatkan apa pun – termaksud uang jasa yang semula hendak digunakan untuk
membantu Mr. Sigerson Bell, majikan sekaligus mentor yang memahami impian serta
pemikirannya. Untunglah datang bantuan dari The Swallow, pemain trapezze
terkenal yang terlibat dalam kasus Geng Brixton, dan ia memberikan rekomendasi
pada semua kenalannya sehingga Mr. Sigerson Bell mampu membayar hutang yang
melilit dirinya.
Sherlock menemukan sebuah petunjuk penting, yang membawanya menelusuri
jejak sampai ke luar dari wilayah London, menempuh perjalanan jauh yang rumit
dan berbahaya, membuatnya dikejar-kejar oleh pihak berwajib sebagai
penyelundup. Dan semuanya dilakukan dengan penuh tekad serta dendam membara,
pada Inspektur Lestrade yang telah menghina serta mengungkit ‘luka-hati’ akibat
kematian ibunya, serta hubungan tarik-ulur yang terjadi antara dirinya dengan
Irene Doyle, yang entah bagaimana selalu kembali melibatkan sosok Malefactor –
pemuda pimpinan Anak-Anak Jalanan di London.
Anehnya untuk kali ini Irene Doyle memang memiliki peranan cukup penting
dalam misteri lenyapnya Victoria Rathbone. Menurut kisah yang diceritakan
olehnya kepada Sherlock di kemudian hari ... ia dan ayahnya Mr. Andrew Doyle,
yang terlibat dalam kegiatan sosial membantu anak-anak yatim-piatu, suatu hari
bertemu dengan bocah cilik bernama Paul Waller – yang menderita penyakit aneh
sehingga perlahan namun pasti, ia akan mengalami kebutaan total jika tak segera
diobati.
Bocah ini mengingatkan Irene dan ayahnya atas kematian saudara
laki-laki serta putra kesayangan Mr. Doyle yang telah meninggal karena sakit
semasa kecil, dan wajah Paul Waller sangat mirip dengan putra keluarga Doyle
yang telah meninggal sekian lamanya. Sebelum penculikan Victoria, Irene beserta
ayahnya datang ke kediaman Rathbone, memohon bantuan pada Lord Rathbone untuk
mengijinkan dokter pribadinya mengobati bocag malang itu ... namun belum sempat
hal itu terlaksana, peristiwa menggemparkan terjadi, dan keluarga Rathbone
menutup diri dari khalayak, tidak menerima kunjungan dari siapa pun ... dan
kondisi Paul Waller semakin memburuk.
Kesan :
"Sherlock & Mr. Bell "illustrasi by Sweta Kartika |
Kelanjutan kisah petualangan Sherlock Holmes semasa muda kali ini dibuka
dengan menunjukkan suatu peristiwa yang melibatkan Irene Doyle – gadis cantik
yang memiliki pengaruh dalam perjalanan hidup Sherlock Holmes. Semula diriku
berharap akan mendapat sedikit ‘pencerahan dan kejelasan’ berkaitan dengan
hubungan antara keduanya ... tapi ternyata Irene Doyle kembali merupakan sebuah
misteri yang lumayan ‘menjengkelkan’ ( bagi diriku terutama) dan tidak ada satu
kejelasan apa sebenarnya peran dirinya, seakan hanya sebagai suatu pancingan
belaka untuk menarik minat pembaca ...
Tapi terlepas dari rasa ‘tidak-senang sekaligus jengkel’ dengan karakter
ini, syukurlah bahwa penulis mengembangkan karakter Sherlock Holmes ke arah
yang lebih “menjanjikan” dan mendekati sifat orisinal yang dikembangkan oleh
Sir Arthur Conan Doyle. Bukan mau membandingkan, tetapi memang cukup sulit
menulis tentang sosok karakter yang sangat dikenal oleh masyarakat luas –
terutama para Sherlockian ( para penggemar berat Sherlock Holmes ).
Sherlock Holmes yang pada kedua buku sebelumnya digambarkan sebagai bocah
emosional dan sering bertindak tanpa berpikir panjang, kali ini mulai
menunjukkan kematangan dalam berpikir, mulai bisa menimbang beberapa prioritas
yang harus dilakukannya, meski kadar kenekatannya justru semakin bertambah.
Semenjak awal kisah ini, entah bagaimana diriku sudah bisa menebak bagaimana
ending atau setidaknya ke arah mana jalur kisah ini akan dibawa – sehingga tiada
suatu misteri yang menyelimuti kisah ini, lebih sebagai kisah thriller yang
lumayan menegangkan.
Jadi ada poin plus maupun minus dalam buku ke-3 dari serial ini. Apakah
diriku cukup terpuaskan ? Jawabanku tidak, karena tidak sesuai harapanku (^_^),
tapi cukup lumayan menghibur dan berharap di buku ke-4 pengembangan karakter
Sherlock Holmes semakin dipoles dan ‘tidak-harus-sesuai’ dengan karakter
orisinalnya ... terbukti di sini sosok Sherlock lebih menurutkan kata hati dan
emosi ( sesuatu yang bakal ditertawakan oleh karakter orisinalnya, karena
Sherlock selalu mengganggu rekanya Dr. Watson sebagai sosok romantis dan
emosional, faktor-faktor yang tidak dibutuhkan dalam suatu penyelidikan ), akan
tetapi jangan salah menafsirkan – karena diriku cukup lumayan menyukai
perbedaan ini, menunjukkan bahwa Sherlock Holmes juga memiliki sisi manusiawi,
dengan rasa iri, dendam, putus asa, serta tekad mewujudkan Impian dan janjinya
pada sang ibu – satu-satunya orang yang memahami dirinya, dan tewas terbunuh
dalam usaha membantu putra tercintanya.
"Victoria Rathbone" illustrasi by Sweta Kartika |
Satu-satunya yang ingin kuhindari atau mungkin sebaliknya segera diakhiri,
hubungan Sherlock dengan Irene Doyle, karena meski diriku juga sesama ‘wanita’ –
tapi dari buku pertama hingga buku ketiga ini, semakin lama kadar simpatiku
pada Irene Doyle semakin menipis hehe ... why ? Karena ia sangat ‘plin-plan’
dan tidak terbantu dengan sikap Sherlock yang kaku dan tidak bisa luwes jika
berhubungan dengan wanita ( kecuali mendiang ibunya ), dan Irene Doyle adalah
wanita cantik dan sangat cerdas ( sesuatu yang juga menarik perhatian Sherlock,
karena ia tak akan tertarik pada wanita cantik berotak kosong ) ... dan sangat
manipulatif meski masih berusia muda.
Sebelum kuakhiri kisah petualangan ini, perlu kuingatkan, dari segala “ocehan”
dan keluh-kesah tentang kisah ini ... endingnya sangat aku sukai, memberikan
suatu pengharapan positif bahwa Young Sherlock Holmes akhirnya menyadari apa
sebenarnya tujuan hidup serta misinya – bukan sekedar mengungkap kejahatan dan
mencari ketenaran belaka, so I can’t wait for the next books !!!
Tentang
Penulis :
Shane
Peacock lahir di Thunder Bay, Ontario tahun 1957. Ia memulai karir menulisnya
sebagai seorang jurnalis dan menerbitakan beberapa hasil tulisannya di Saturday
Night, Reader’s Digest dan Sport Illustrated. Karyanya “The Boy Sherlock
Holmes”, telah meraih beberapa penghargaan, di antaranya :
·
Booklist “Top Ten in Young Mysteries”
·
Pemenang Arthur Ellis Award for Juvenile Crime Fiction
·
Pemenang Medali Emas dalam Penghargaan Foreward Magazine’s Book of
the Year
·
Pemenang Penghargaan IODE’s Violet Downey Book
Saat ini
Shane tinggal dengan istrinya, Sophie Kneisel, dan ketiga anaknya di sebuah
lahan pertanian dekat Cobourg, Ontario. Di saat senggangnya, Shane suka bermain
hoki, membaca buku dan berimajinasi bahwa dirinya adalah pahlawan dalam setiap
cerita.
Best
Regards,
* HobbyBuku
*
No comments:
Post a Comment