Translate

Sunday, December 9, 2012

Books "NOTHING TO FEAR"



Books “TAK PERLU TAKUT

Judul Asli : NOTHING TO FEAR

Copyright © 2008 by Matthew D’Ancona

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Alih Bahasa : Fahmy Yamani

Editor : Rini Nurul Badariah

Cetakan ke-01 : November 2012 ; 360 hlm

Cover by Eduard Iwan Mangopang
Rate : 4 of 5


“Esensi tragedi manusia terdapat dalam kesendiriannya, bukan konflik, tidak peduli argumentasi yang mungkin dinyatakan teater dunia ini.” [ taken from Thomas Wolfe : God’s Lonely Man ]
Ginny dan Harry Benson, dua orang yang asing satu sama lain, bertemu, saling jatuh cinta, kemudian menikah. Perjalanan hidup yang terjadi pada sekian banyak pasangan manusia di dunia ini. Tapi kisah ini tidak berjalan dengan baik. Setelah hampir 11 tahun bertahan, akhirnya keduanya bercerai, melalui proses yang sulit serta berbagai pertengkaran demi pertengkaran. Salah satu kepedihan yang dialami Ginny, alasan Harry ‘berselingkuh’ dan meminta perceraian adalah kemandulan yang dialami oleh Ginny. Mesti para ahli kandungan menyatakan tidak ada masalah pada diri Ginny, namun Harry tetap menyalahkan sang istri karena mereka tak jua memiliki keturunan setelah sekian tahun mencoba.


Kini Ginny Clark berusaha mengumpulkan kembali kepingan hidupnya. Ia memutuskan keluar dari tempat tinggal sementara di kediaman orangtuanya, dan mencari rumah untuknya seorang diri. Dibantu oleh sahabatnya Peter, akhirnya ia menemukan sebuah rumah yang cocok dengan keinginannya. Kendati kondisi kediaman itu memerlukan banyak perbaikan, Ginny menyukai suasana yang ada, dan ia segera pindah ke kediaman barunya, ditemani Winston – kucing kesayangannya. 



[ source ]
Sembari berusaha kembali menulis laporan tentang penelitiannya menyangkut dongeng anak-anak, legenda dan fabel berkaitan dengan segi psikologis, ia berusaha mengenal lingkungan barunya. Tetangganya terdiri dari pasangan paruh baya Roger dan Audrey Benson, serta penghuni no. 26 sosok pemuda misterius bernama Sean. Singkat cerita saat Ginny mulai menikmati kehidupan barunya, dan tetap menjalin rutinitas dengan Geoffrey – ayahnya yang tetap menduda sepeninggalan ibunya, serta sahabat karibnya Julie dan sesekali dengan Peter, dua orang sahabatnya yang anehnya tak bisa saling menyukai satu sama lain. 


Kemudian masuknya Sean, pemuda tetangganya yang aneh, ramah, kikuk, pemalu serta sedikit paranoid. Hubungan mereka berlanjut hingga saling mengunjungi satu sama lain, lewat undangan makan bersama dan pertemanan. Kediaman Sean sungguh sangat aneh sekaligus menarik seperti pemiliknya. Sean sangat tertutup dan melalui beberapa proses pertemuan barulah ia mau sedikit terbuka, namun tetap ada hal-hal yang ia tak mau bagikan kepada Ginny. Termasuk keberadaan satu kamar di dalam rumahnya yang terkunci dan terlarang bagi Ginny untuk memasukinya. Keanehan itu tidak akan menjadi beban pikiran Ginny lebih lanjut jika saja tidak ada kejadian-kejadian yang menimpa dirinya saat hubungannya dengan Sean berkembang. 


Dimulai dengan kemunculan Harry yang mabuk berat dan hampir memukuli dirinya seandainya tidak ada Sean yang menolong dirinya. Sosok Sean yang lembut dan rapuh, dalam sekejab mampu berubah menjadi ganas, menghajar Harry hingga babk belur. Kemudian Ginny menemukan kucingnya tersayang tewas terbunuh, tubuhnya yang hancur dipukuli diletakkan di depan rumahnya. Tanpa disadari Ginny kemudian terlibat pada kasus pembunuhan puluhan tahun lalu yang melibatkan serial-killer bernama Alex Blakeley yang baru berusia 10 tahun namun dinyatakan telah membunuh lebih dari 7 orang pemuda seusianya. Dan kini Ginny harus memilih, karena masa lalu yang disimpan rapat-rapat akan terkuak, dan memakan korban baru, orang yang dikasihi Ginny, kecuali ia bersedia menemui sosok yang menakutkan ini. 


Kesan :

[ source ]
Semula kisah ini berjalan datar, layaknya kisah drama keluarga yang mengalami perpecahan, namun seiring dengan perkembangan karakter, penulis memberikan warna tersendiri bagi karakter utama yang membuat kisah ini semakin menarik untuk disimak. Bermain dengan sistim flash-back terutama saat memasuki kenangan masa silam, pembaca diajak mengenal lebih dalam apa yang ada di dalam benak sang tokoh. Dengan hanya memberikan potongan-potongan kisah, maka kita harus menebak-nebak hingga terkumpulnya semua potongan kisah guna mengetahui keutuhan kisahnya. 


Yang menarik penulis menyinggung topik tentang pendalaman sisi dongeng anak dari segi analisa psikologis, bahwa dongeg bisa berjalan dalam dua sisi. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah pesan-pesan tersirat yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak, namun sisi lain justru menyatakan bahwa itu merupakan pesan-pesan khusus yang memang dibuat oleh kanak-kanak bagi kanak-kanak lain di dunia. Pesan untuk takut akan sesuatu dan waspada terhadap bahaya tertentu. Mungkin jika dijabarkan lebih dalam, tentang penggunaan teori penanaman pikiran bawah sadar lewat dongeng kanak-kanak, maka kisah ini akan berjalan pada alur yang sama sekali berbeda. Di luar hal ini, penulis tetap menerapkan kunci masalah trauma dan tekanan psikologis, mampu merubah manusia menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Dengan ending yang penuh surprise sekaligus sangat menarik, ini salah satu kisah yang layak dibaca oleh penikmat kisah misteri (^_^)


Tentang Penulis :

[ source ]
Matthew D’Ancona ( 27 Januari 1968 ), adalah editor dari harian Spectator  dari tahun 2006 hingga tahun 2009 serta mantan penulis serta editor kolom politik di harian  Sunday Telegraph dan GQ, serta sering pula tampil sebagai pembicara radio maupun televisi. Baru-baru ini beliau masuk dalam daftar Britain’s 100 Most Influental Intellectuals oleh majalah Prospect. Nothing To Fear adalah novelnya yang ketiga, selain Going East dan Tabatha’s Code. Selain itu beliau juga menghasilkan berbagai karya non-fiksi seperti The Jesus Papyrus dan The Quest for the True Cross. 

Best Regards, 
* Hobby Buku *
 

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...