Books “TAK PERLU TAKUT”
Judul Asli : NOTHING TO FEAR
Copyright © 2008
by Matthew D’Ancona
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Fahmy Yamani
Editor : Rini
Nurul Badariah
Cetakan ke-01 : November
2012 ; 360 hlm
Cover by Eduard Iwan
Mangopang
Rate : 4 of 5
“Esensi tragedi manusia terdapat dalam kesendiriannya, bukan konflik, tidak peduli argumentasi yang mungkin dinyatakan teater dunia ini.” [ taken from Thomas Wolfe : God’s Lonely Man ]
Ginny dan Harry
Benson, dua orang yang asing satu sama lain, bertemu, saling jatuh cinta,
kemudian menikah. Perjalanan hidup yang terjadi pada sekian banyak pasangan
manusia di dunia ini. Tapi kisah ini tidak berjalan dengan baik. Setelah hampir
11 tahun bertahan, akhirnya keduanya bercerai, melalui proses yang sulit serta
berbagai pertengkaran demi pertengkaran. Salah satu kepedihan yang dialami
Ginny, alasan Harry ‘berselingkuh’ dan meminta perceraian adalah kemandulan
yang dialami oleh Ginny. Mesti para ahli kandungan menyatakan tidak ada masalah
pada diri Ginny, namun Harry tetap menyalahkan sang istri karena mereka tak jua
memiliki keturunan setelah sekian tahun mencoba.
Kini Ginny Clark berusaha
mengumpulkan kembali kepingan hidupnya. Ia memutuskan keluar dari tempat tinggal
sementara di kediaman orangtuanya, dan mencari rumah untuknya seorang diri.
Dibantu oleh sahabatnya Peter, akhirnya ia menemukan sebuah rumah yang cocok
dengan keinginannya. Kendati kondisi kediaman itu memerlukan banyak perbaikan,
Ginny menyukai suasana yang ada, dan ia segera pindah ke kediaman barunya,
ditemani Winston – kucing kesayangannya.
[ source ] |
Sembari berusaha
kembali menulis laporan tentang penelitiannya menyangkut dongeng anak-anak,
legenda dan fabel berkaitan dengan segi psikologis, ia berusaha mengenal
lingkungan barunya. Tetangganya terdiri dari pasangan paruh baya Roger dan
Audrey Benson, serta penghuni no. 26 sosok pemuda misterius bernama Sean. Singkat
cerita saat Ginny mulai menikmati kehidupan barunya, dan tetap menjalin rutinitas
dengan Geoffrey – ayahnya yang tetap menduda sepeninggalan ibunya, serta
sahabat karibnya Julie dan sesekali dengan Peter, dua orang sahabatnya yang
anehnya tak bisa saling menyukai satu sama lain.
Kemudian masuknya
Sean, pemuda tetangganya yang aneh, ramah, kikuk, pemalu serta sedikit
paranoid. Hubungan mereka berlanjut hingga saling mengunjungi satu sama lain,
lewat undangan makan bersama dan pertemanan. Kediaman Sean sungguh sangat aneh
sekaligus menarik seperti pemiliknya. Sean sangat tertutup dan melalui beberapa
proses pertemuan barulah ia mau sedikit terbuka, namun tetap ada hal-hal yang
ia tak mau bagikan kepada Ginny. Termasuk keberadaan satu kamar di dalam
rumahnya yang terkunci dan terlarang bagi Ginny untuk memasukinya. Keanehan itu
tidak akan menjadi beban pikiran Ginny lebih lanjut jika saja tidak ada
kejadian-kejadian yang menimpa dirinya saat hubungannya dengan Sean berkembang.
Dimulai dengan kemunculan
Harry yang mabuk berat dan hampir memukuli dirinya seandainya tidak ada Sean
yang menolong dirinya. Sosok Sean yang lembut dan rapuh, dalam sekejab mampu
berubah menjadi ganas, menghajar Harry hingga babk belur. Kemudian Ginny
menemukan kucingnya tersayang tewas terbunuh, tubuhnya yang hancur dipukuli
diletakkan di depan rumahnya. Tanpa disadari Ginny kemudian terlibat pada kasus
pembunuhan puluhan tahun lalu yang melibatkan serial-killer bernama Alex
Blakeley yang baru berusia 10 tahun namun dinyatakan telah membunuh lebih dari
7 orang pemuda seusianya. Dan kini Ginny harus memilih, karena masa lalu yang
disimpan rapat-rapat akan terkuak, dan memakan korban baru, orang yang dikasihi
Ginny, kecuali ia bersedia menemui sosok yang menakutkan ini.
Kesan :
[ source ] |
Semula kisah ini
berjalan datar, layaknya kisah drama keluarga yang mengalami perpecahan, namun
seiring dengan perkembangan karakter, penulis memberikan warna tersendiri bagi
karakter utama yang membuat kisah ini semakin menarik untuk disimak. Bermain
dengan sistim flash-back terutama saat memasuki kenangan masa silam, pembaca
diajak mengenal lebih dalam apa yang ada di dalam benak sang tokoh. Dengan
hanya memberikan potongan-potongan kisah, maka kita harus menebak-nebak hingga
terkumpulnya semua potongan kisah guna mengetahui keutuhan kisahnya.
Yang menarik
penulis menyinggung topik tentang pendalaman sisi dongeng anak dari segi
analisa psikologis, bahwa dongeg bisa berjalan dalam dua sisi. Ada yang
berpendapat bahwa itu adalah pesan-pesan tersirat yang diberikan oleh orang tua
kepada anak-anak, namun sisi lain justru menyatakan bahwa itu merupakan
pesan-pesan khusus yang memang dibuat oleh kanak-kanak bagi kanak-kanak lain di
dunia. Pesan untuk takut akan sesuatu dan waspada terhadap bahaya tertentu. Mungkin
jika dijabarkan lebih dalam, tentang penggunaan teori penanaman pikiran bawah
sadar lewat dongeng kanak-kanak, maka kisah ini akan berjalan pada alur yang
sama sekali berbeda. Di luar hal ini, penulis tetap menerapkan kunci masalah
trauma dan tekanan psikologis, mampu merubah manusia menjadi sosok yang sama
sekali berbeda. Dengan ending yang penuh surprise sekaligus sangat menarik, ini
salah satu kisah yang layak dibaca oleh penikmat kisah misteri (^_^)
Tentang Penulis :
[ source ] |
Matthew D’Ancona ( 27 Januari 1968 ),
adalah editor dari harian Spectator dari
tahun 2006 hingga tahun 2009 serta mantan penulis serta editor kolom politik di
harian Sunday Telegraph dan GQ, serta
sering pula tampil sebagai pembicara radio maupun televisi. Baru-baru ini beliau
masuk dalam daftar Britain’s 100 Most Influental Intellectuals oleh majalah Prospect.
Nothing To Fear adalah novelnya yang ketiga, selain Going East dan Tabatha’s
Code. Selain itu beliau juga menghasilkan berbagai karya non-fiksi seperti The
Jesus Papyrus dan The Quest for the True Cross.
Best Regards,
* Hobby Buku *
makasih kk reviewnya bagus..
ReplyDeletejd pengen baca.. hahah