Judul Asli : THE DOGS OF WAR
Copyright © Frederick
Forsyth 1974
Penerbit : Serambi
Ilmu Semesta
Alih Bahasa :
Kristina Sundari
Editor : M. Sidik
Nugroho
Pewajah Isi : Aniza
Pujiati
Desain Sampul :
iggrafix
Cetakan
I : April 2013 ; 596 hlm
Rate
: 3 of 5
“Jangan kabarkan kematianku,
Atau berduka karenaku,Dan jangan kubur aku di tanah suci,Jangan pula minta penjaga gereja membunyikan lonceng,Agar tak seorang pun melihat jenazahku,Dan jangn berkabung di belakangku pada upacara pemakamanku,Agar tak setangkai bunga pun ditanam di makamku,Dan tak perlu seorang pun mengingatku,Untuk ini kutinggalkan namaku.” __ Thomas Hardy
Puisi
pada halaman awal ini sedikit banyak menunjukan kisah perjuangan manusia yang
terangkum dalam jalinan konflik dan intrik dalam memperebutkan kekuasaan dan
kekayaan serta nilai-nilai dalam kehidupan. Dibuka dengan istilah pada judul
kisah ini, “dogs of war” yang merujuk
pada para tentara bayaran yang juga dikenal sebagai ‘mercenary’ atau pembunuh
bayaran. Tokoh-tokoh ini memiliki kemampuan serta keahlian khusus terutama
pengetahuan militer serta bela diri tinggi dan strategi dalam pertempuran kecil
hingga besar, dan mereka bergerak secara independen dalam arti tidak mewakili
kepentingan negara tertentu melainkan ‘klien’ yang bersedia membayar tinggi
atas jasa mereka.
Namun
kali ini, penulis berusaha menyajikan sisi lain dari mereka yang selama ini
dianggap para pemberontak dan harus dimusnahkan karena melawan hukum serta
peraturan negara. Alih-alih sekedar menyajikan kebrutalan ala pembunuh bayaran,
melalui para karakter utama kisah ini, pembaca akan diingatkan bahwa diantara
kawanan serigala yang buas dan liar, tidak semuanya memiliki naluri pembunuh
kecuali hanya untuk bertahan hidup, dan yang lebih menakutkan adalah sosok
serigala yang menyamar diantara kawanan domba, bertingkah laku seperti domba
namun secara licik menerkam dari belakang.
Dimulai
dari sebuah penemuan tak terduga hasil penelitian ilmuwan yang mengungkapkan
adanya kandungan ‘mineral’ yang unik ada wilayah tak bertuan di Afrika. Wilayah
yang dikenal dengan nama Gunung Kristal, sebuah wilayah tandus dengan medan
yang cukup sulit, ternyata memiliki kandungan bukan saja timah tetapi platinum
yang bernilai sangat tinggi karena kelangkaannya. Temuan ini nyaris hanya
berupa laporan biasa yang akan masuk dalam tumpukan laporan lain, hingga
terbaca oleh Sir James Manson – direktur Perusahaan Tambang Manson Consolidated
di London. Beliau adalah sosok pria sinis dan realistis, manipulatif dan
predator alami. Bagi beliau di dunia politik hanya berlaku satu firman Tuhan
yaitu firman kesebelas yang berkata, “Kau
tidak boleh ketahuan.” Hal itu yang membuatnya mencapai kesuksesan,
kehormatan, kekuasaan dan kekayaan sebagi triliuner yang masih terus berjalan
di usianya ke-61.
Sir
James telah melakukan perhitungan seandainya ia berhasil menguasai Gunung
Kristal, ia akan meraup keuntungan sedikitnya sepuluh miliar dolar.
Permasalahannya bagaimana ia bisa mengambil alih lahan yang terlatak di wilayah
sebuah negara tak dikenal bernama Republik Zangaro, yang sedang berada dalam
kondisi konflik peperangan setelah kudeta terakhir yang berdarah, menyebabkan
wilayah tersebut tertutup bagi dunia luar dan dalam pengawasan ketat pihak
militer Zangaro ? Maka tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari
Presiden terbaru Jean Kimba – sosok pria yang digambarkan penderita
megalomania, paranoid dan cukup gila, memerintah dengan tangan besi. Bagi Sir
James, tiada hal yang mustahil jika ia menginginkan sesuatu, dan berkat
kekuasaan serta kekayaannya, ia mulai menebar jaring untuk membungkam
pihak-pihak yang memiliki pengetahuan tentang penelitian tersebut, memanipulasi
agar dibuat laporan palsu dan menyiapkan tim penyelidik untuk terjun langsung
ke Republik Zangaro.
Disinilah
Mayor Carlo Alfred Thomas ‘CAT’ Shannon terpilih untuk memimpin misi untuk
memusnahkan Presiden Kimba dan kabinetnya, agar Sir James bisa memasukan
Presiden baru pilihannya yang akan menjadi ‘boneka’ dan memberikan kekuasaan
bagi ManCon untuk beroperasi secara mutlak pada Gunung Kristal. Pria berusia 33
tahun ini memiliki ketenangan sekaligus kecerdikan dalam memimpin pasukannya
dalam situasi apa pun. Bersama dengan Big Jan Dupree (28 tahun), pelempar
mortir terbaik asal Afrika Selatan, Tiny Marc Vlaminck, raksasa dari Jerman
yang kekuatan tinju dan bahunya amat berguna untuk menembak bazoka,
Jean-Baptiste Langarotti, pria Corsica yang pernah bergabung dalam OAS melawan
pasukan kolonial Prancis, ahli bela diri serta pengguna pisau yang sangat
handal, dan Kurt Semmler, yang tertua diantara mereka (40 tahun), insinyur asal
Jerman yang merupakan veteran perang mulai semasa Hitler hingga kemerdekaan
Aljazair dari Prancis pada September 1962.
Jangan
langsung berharap adegan pertempuran atau peperangan karena hal itu baru akan
muncul menjelang akhir kisah buku setebal 500 halaman ini. Sebagai gantinya
pembaca akan diajak menelusuri ‘dunia-lain’ melalui mata sosok Cat Shannon.
Bagaimana ia menyusun rencana akan misi yang berbahaya dan penuh resiko serta
bahaya tinggi, mulai dari nol. Ia dan tim yang dipilih harus menyelesaikan misi
tersebut dalam kurun waktu seratus hari, tidak boleh lebih dari batas waktu
tersebut karena adanya pihak lain yang juga mengincar hal yang sama, negara
Rusia, sebagai salah satu produsen terbesar platinum dunia dan sekutu Presiden
Kimba. Dan ia juga harus mengatasi musuh dari sesama tentara bayaran yang berusaha
menyingkirkan dirinya dari kancah perebutan ‘pekerjaan’ sekaligus tetap menjaga
kewaspadaan terhadap klien-nya karena bukan tidak mungkin dirinya mengalami
resiko permainan licik dari Sir James.
Jika
Anda penyuka akan detail, maka novel ini akan memberikan kepuasan tersendiri.
Mulai dari pemahaman tentang jual-beli persenjataan secara ilegal maupun legal,
pembuatan perusahaan palsu atau korporasi demi melancarkan pembelian
barang-barang tertentu, bagaimana menyiasati pembayaran pajak atas kekayaan yang
tersimpan di bank-bank tertentu (mulai dari Bank Swiss hingga Belgia) dan tentu
saja permainan suap-menyuap antar berbagai pihak dan divisi demi kepentingan
masing-masing. Namun jika Anda lebih menyukai adegan yang seru dan penuh
‘action’ dan perkelahian, maka ada kemungkinan sebagian besar kisah ini justru
berkesan membosankan dan bertele-tele. Karena kisah ini bukanlah gambaran
kegiatan spionase ala James Bond yang gemerlap dengan gadget canggih.
Secara
pribadi, diriku lebih menyukai kisah ini dibandingkan bacaanku sebelumnya “The
Day of The Jackal” – terutama karena dalam kisah ini, unsur kemanusiaan sangat
ditonjolkan, bahkan melalui penggambaran sisi dunia yang kotor dan manipulatif,
kita akan mampu melihat perbedaan nyata antara pihak yang benar dan pihak yang
‘dibenarkan’... The Dogs of War bukan saja kisah tentang prajurit bayaran
melainkan perjalanan manusia-manusia
yang memiliki prinsip serta keyakinan dalam kehidupan masing-masing, dan
berpegang teguh dalam menegakkan secuil keadilan dan kebenaran dalam peperangan
yang tiada henti, meski hal itu harus dibayar dengan nyawa masing-masing, dan
tiada yang mengenal atau mengenang jasa mereka, jasadnya terkubur di suatu
tempat pertempuran ... antara manusia dengan segala kelemahan dan kelebihannya !!
Tentang Penulis :
Frederick Forsyth, lahir pada tanggal 25 Agustus 1938, seorang penulis asal Inggris sekaligus pengamat politik. Lahir di Ashford, Kent, ia mengambil pendidikan di Tornbridge School, yang dilanjutkan ke Universitas Granada di Spanyol. Sempat menjalani Wajib Militer sepanjang tahun 1956 – 1958 dan menjadikan dirinya pilot termuda di Angkatan Udara pada usia 19 tahun. Setelah lulus, ia melamar sebagai seorang jurnalis di kantor berita Reuter pada tahun 1961, dan beralih ke BBC pada tahun 1965 di mana ia juga bertugas sebagai asisten koresponden diplomatik. Selama bulan Juli – September 1967 ia meliput Perang Sipil Nigeria sebagai koresponden khusus antara Biafra dan Nigeria. Dan setelah meninggalkan BBC pada tahun 1968, ia kembali ke wilayah Biafra sebagai reporter lepas dan menghasilkan karya tulis pertamanya pada tahun 1969 dengan judul ‘The Biafra Story.’
Frederick Forsyth, lahir pada tanggal 25 Agustus 1938, seorang penulis asal Inggris sekaligus pengamat politik. Lahir di Ashford, Kent, ia mengambil pendidikan di Tornbridge School, yang dilanjutkan ke Universitas Granada di Spanyol. Sempat menjalani Wajib Militer sepanjang tahun 1956 – 1958 dan menjadikan dirinya pilot termuda di Angkatan Udara pada usia 19 tahun. Setelah lulus, ia melamar sebagai seorang jurnalis di kantor berita Reuter pada tahun 1961, dan beralih ke BBC pada tahun 1965 di mana ia juga bertugas sebagai asisten koresponden diplomatik. Selama bulan Juli – September 1967 ia meliput Perang Sipil Nigeria sebagai koresponden khusus antara Biafra dan Nigeria. Dan setelah meninggalkan BBC pada tahun 1968, ia kembali ke wilayah Biafra sebagai reporter lepas dan menghasilkan karya tulis pertamanya pada tahun 1969 dengan judul ‘The Biafra Story.’
Keberhasilannya pada
buku pertama, mendorong jiwa menulisnya untuk menghasilkan novel dengan
menggunakan kemampuan dan pengamatan jurnalisnya. Maka lahirlah novel pertama “The Day of The Jackal” pada tahun 1971, yang kemudian menjadi Internasional
Bestseller dan memenangkan ‘Edgar Allan
Poe Award’ untuk kategori Best Novel. Kesuksesan fiksi yang berdasarkan
kenyataan, akan adanya organisasi OAS OAS (Organization L’Armée Secréte) –
sebuah kelompok teroris yang mengancam kelangsungan hidup Presiden Prancis
Charles de Gaulle, membuat kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul sama
pada tahun 1973, disutradarai oleh Fred Zinnemann, dibintangi oleh Edward Fox,
Terence Alexander dan Michael Auclair. Pada tahun 1997, rilis sebuah film
dengan judul “The Jackal” yang disutradarai Michael Caton-Jones, dibintangi
oleh Richard Gere dan Bruce Wilis. Judul yang beredar telah dirubah setelah
terjadi negosiasi antara Frederick Forsyth, Fred Zinneman dan pihak pembuat
film ini, agar tidak terjadi kerancuan dengan novel maupun film adaptasi
sebelumnya, karena kisah dalam film ini sangat berbeda dengan novel “The Day of
The Jackal”.
Menyusul
keberhasilan novel pertama, karya berikutnya “The Odessa File” pada tahun 1972, yang berkisah tentang
perjalanan seorang reporter untuk melacak keberadaan seorang mantan anggota
Nazi, seorang perwira SS – organisasi
rahasia yang merupakan pasukan setia Hitler. Dan kisah ini juga diangkat ke layar lebar
dibintangi John Voight. Setelah itu berturut-turut novel ketiga “The Dogs of
War” yang rilis tahun 1974, mengikuti jejak dan kesuksesan serupa. Novel ini
diilhami dari pengalaman beliau saat
meliput Perang Biafra (antara Biafra dan Nigeria pada tahun 1970). Republik
Zangaro sendiri meskipun hanya berupa rekaan, berdasarkan pada negara
Equatorial Guinea bekas jajahan Spanyol.
Novel-novelnya
selalu berkisah seputar peperangan, intrik internasional, isu politik, spionase
dan kriminalitas lintas negara, seperti “The Fourth Protocol” (1984), “The
Negotiator” (1989), dan “The Deceiver” (1991). Beliau juga mencoba menulis
novel pada genre yang berbeda berjudul “The Phantom of Manhattan” yang
merupakan sekuel dari novel klasik “The Phantom of The Opera” - namun sayangnya novel ini tidak mendapat
respons yang bagus, sehingga akhirnya beliau memutuskan kembali pada genre
penulisan yang dikenalnya, thriller-suspence. Kini beliau menetap di
Hertfortshire, Inggris bersama istrinya.
Info selengkapnya
tentang Frederick Forsyth, silahkan kunjungi situs resminya di : [ Frederick Forsyth's Site | Movie Adaptation ( 1980 ) | The Dogs of War ( Novel ) | on Wikipedia | on IMDb ]
Best Regards,
Hobby Buku
Asyiiik....bisa pinjeem, hahaha!
ReplyDelete