Judul Asli : The Boy Sherlock Holmes 2nd Case
– DEATH IN THE AIR
Copyright © 2009 by
Shane Peacock
Penerbit :
Qanita
Alih Bahasa : Maria
Lubis
Editor : Tisa
Anggraini
Illustrasi Isi
& Sampul : Sweta Kartika
Cetakan I : Januari
2012 ; 352 hlm
Rate : 4 of 5
Sinopsis :
Sherlock Holmes berhasil memecahkan kasus pembunuhan di
Whitechapel. Namun impian akan penghargaan atas jerih-payahnya, justru diambil
dan dimiliki oleh Inspektur Lestrade. Tiada yang tahu keterlibatan Sherlock
dalam menangkap sang pembunuh, bahkan kematian ibunya akibat membantu dirinya,
justru memperburuk situasi Sherlock saat ini. Ya, dia tidak lagi buronan, tapi
akan kemana ia pergi ? Ibunya tewas terbunuh, ayahnya menjauhi dirinya,
menyalahkan Sherlock karena melibatkan kekasih hatinya, Irene Doyle yang sempat
dekat dengannya pun terpaksa ia jauhi, agar tidak mengalami nasib serupa dengan
ibunya … apalagi semenjak percobaan pembunuhan yang dialami oleh Irene
sebelumnya. Sherlock tak memiliki siapa pun, ia tak tahu apa yang akan
dilakukan kemudian. Tapi satu yang pasti – janjinya pada sang ibu menjelang
kematiannya, Sherlock akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengungkap kejahatan
yang ada muka bumi ini.
Dan kesempatan tersebut datang tanpa diduga, bagaikan
mendapat “harta jatuh dari langit” maka Sherlock pun mendatangi kasus
berikutnya jatuh dari langit ke bawah di dekat kakinya. Seorang pemain trapeze
terkenal, tewas jatuh karena luput meraih balok trapeze, namun mata tajam
Sherlock mengamati bahwa ada kejanggalan pada potongan balok yang terjatuh itu.
Saat Sherlock berusaha melihat balok itu lebih jelas, sang pemain trapeze
‘Monsieur Mercure’ berusaha berbicara, tapi Sherlock hanya menangkap sedikit :
“Bungkam …aku”, kemudian ia tergeletak terbaring kaku. Sherlock berdiri,
gemetar melihat kejadian nyata di depan matanya, apalagi ia sadar bahwa tubuh
yang terbaring kaku itu belum mati, karena ia masih bernapas !!! Saat itu tanggal 1 Juli 1867, enam minggu
setelah peristiwa tragis yang dialaminya, dan kini Sherlock tahu kasus kedua
yang harus ditanganinya.
Sherlock bertekad meningkatkan kemampuannya. Karena itu ia
melamar sebagai asisten toko farmasi milik Sigerson Trimegistus Bell – seorang
apoteker tua yang eksentrik, bukan sekedar ahli medis belaka namun lebih
menjurus sebagai seorang ilmuwan – ahli alkimia – seorang penyihir yang
mempelajari hal-hal magis. Keunikan dan keanehan Sigerson itu menarik perhatian
Sherlock sehingga ia bersedia menjadi asisten tanpa bayaran, hanya mendapat
tempat berteduh dan makanan secukupnya. Dan tentunya ia dapat mempelajari
ilmu-ilmu aneh dari si Tua Sigerson lewat penemuan-penemuan yang diciptakan
setiap minggunya. Sigerson Bell tidak menyangka bahwa pemuda kurus dengan
tampang sedih itu mampu mengimbangi pembicaraan tentang penelitiannya. Lama
kelamaan, Sigerson mulai menaruh
perhatian lebih pada Sherlock, ia memberikan pelajaran bahasa, ilmu anatomi,
serta teori-teori psikologis pada manusia.
Sherlock, sembari menjalankan tugasnya pada Sigerson,
berusaha mencari masukan baru bagi penyelidikannya. Namun polisi pun tidak
menemukan petunjuk baru, selain berita tentang kondisi Mercure yang masih hidup
namun dalam kondisi tak sadarkan diri karena gegar otak yang parah ( istilah
sekarang dalam kondisi koma ). Maka Sherlock berencana menemui sumber beritanya
: Malefactor – Pimpinan Anak-Anaka Jalanan. Tapi ketika ia sedang dalam
perjalanan mencari Malefactor, Sherlock justru tanpa sengaja melihat Sigerson
Bell berjalan dengan langkah-langkah berat seakan-akan beban berat menimpanya,
kemudian ia duduk di alun-alun, termenung sedih dengan pandangan jauh. Sungguh
belum pernah Sherlock melihatnya seperti itu, karena Pak Tua tersebut
senantiasa riang gembira, bahkan setiap pagi ia keluar dari tokonya untuk
menemui para langganannya dengan ceria.
Dari ocehan anak-anak di dekat alun-alun, Sherlock tahu
bahwa Sigerson Bell sudah berminggu-minggu melakukan hal itu. Kemudian ia
teringat peristiwa sekitar tiga minggu sebelumnya, ada seorang tamu datang ke
toko, namun keluar dalam kondisi marah dan mengancam Mr. Bell. Sewaktu Sherlock
bertanya siapa gerangan orang itu, dijawab bahwa ia adalah Lord Redhorns –
pemilik seluruh bangunan di kawasan toko sekaligus tempat tinggal Sigerson
Bell. Sepertinya penyelamat Sherlock telah berutang sewa dan hanya dalam tempo
kurang dari seminggu pelunasan harus dilakukan, atau mereka berdua tidak akan
memiliki tempat berlindung.
Sherlock berpikir
keras bagaimana caranya membantu Mr. Bell. Satu-satunya cara yang bisa ia
pikirkan hanyalah segera menemukan jawaban dari misteri ini dan meminta imbalan
yang pantas atas informasi yang ia miliki. Maka ia segera bergegas mencari
Malefactor, dan sungguh di luar dugaan, ia menemukannya bersama Irene Doyle –
yang selama ini berusaha ia hindari. Akibatnya bukan informasi yang ia
dapatkan, justru bentrokan kecil antara mereka bertiga terjadi, sehingga
Sherlock meninggalkan mereka semua dengan geram.
Maka Sherlock
kembali ke tempat terjadinya perkara, guna mencari bukti-bukti tambahan dan
mendapati The Swallow – anak laki-laki Mercure berada di lokasi itu. Tapi The
Swallow justru mengucapkan kata-kata yang menambah kebingungan Sherlock.
Pertama – ia ternyata bukan anak Mercure sebagai selama ini diberitakan. Kedua
– ternyata semua orang membenci Mercure, berarti daftar musuhnya semakin
bertambah, dan Sherlock tidak tahu lagi harus kemana mencari petunjuk baru.
Satu-satunya yang cukup jelas baginya adalah, di tempat itu sekali lagi ia
bertemu Inspektur Lestrade, yang memberikan peringatan keras agar Sherlock
tidak mencampuri penyelidikan polisi dan menjauhi tempat kejadian perkara,
kecuali ia mau dijebloskan ke dalam tahanan.
Kesan :
Dalam kasus kedua
ini penggambaran tentang karakter Sherlock Holmes semakin berkembang. Dalam
menghadapi tragedi kematian ibunya, penolakan ayahnya, perselisihan serta
persaingan antara dirinya – Malefactor – Irene Doyle semakin memuncak. Sherlock
digambarkan sebagai anak muda yang penuh kepahitan serta tekad membalas dendam
pada siapa saja yang menghalangi jalannya – terutama dalam mewujudkan
permintaan ibunya, bahwa ia : Sherlock Holmes harus mendapat pengakuan atas
jerih payahnya mengungkap kebenaran dan keadilan serta menumpas segala jenis
kejahatan.
Jika dalam kasus
pertama ia dibantu oleh Irene Doyle dan Malefactor, kali ini justru mereka
berdua seakan berperan sebagai stimulan kemarahan serta emosi Sherlock …
menimbulkan sedikit konflik kepentingan, terutama peran Irene Doyle sedikit
membingungkan – apakah ia sekedar ingin membuat Sherlock cemburu atau ingin
agar Sherlock memohon kembali kepadanya ???
Namun Sherlock
tidak mau dipusingkan oleh hal tersebut – maka aku pun beralih pada sosok-sosok
baru yang tampil kali ini. Keberadaan Sigerson Bell sebagai majikan sekaligus
mentor dan pelindung Sherlock sungguh menarik dan sangat tepat jika ia muncul
sebagai jalan perwujudan nyata tokoh legendaris Sherlock Holmes yang tidak
sekedar mengandalkan kekuatan fisik tapi kecerdasan serta kekuatan otak,
terutama hal-hal ilmiah serta penemuan-penemuan yang dilakukan. Sosok Sigerson
Bell yang eksentrik benar-benar mirip dengan karakter Sherlock Holmes aslinya
…. Termasuk kemampuannya menyamar (^_^), sungguh aku tertarik bagaimana penggambaran
metode pangajaran yang akan diberikan oleh Sigerson Bell ( sayang dalam kisah
ini hanya diceritakan sekilas ).
Dan peran pembantu
yang pemberani dan kuat, kali ini ditampilkan lewat karakter El Nino – bocah
ajaib, pemain trapeze yang memiliki masa lalu kelam namun mampu bangkit dan
menata hidup yang lebih baik, dan ia sangat cocok sebagai partner ‘diam-diam’
yang membantu Sherlock Holmes. Selain itu yang juga menarik, hubungan Sherlock
dengan Inspektur Lestrade Senior yang semakin memburuk, tapi justru sang putra
Lestrade Junior memberikan penghargaan dan rasa hormat atas kerja keras
Sherlock, ini berarti Lestrade Junior inilah yang akan menjadi penghubung
Sherlock Holmes di kasus-kasus mendatang di saat ia sudah mulai terkenal (
sesuai dengan karakter dalam kisah aslinya karangan Sir Arthur Conan Doyle
).
Dengan penataan
alur yang lambat kemudian mulai meningkat ketegangan serta konflik yang
terjadi, serta masuknya karakter-karakter baru yang mengasyikkan, dan akhirnya
menuju klimaks dengan ending yang sekali lagi menggantung … membuat diriku
ingin segera membaca kelanjutannya. Penulis memang sengaja membuat serial ini
ibarat chapter dalam buku, sehingga penjelasan atau anti-klimaks baru akan
terungkap pada episode berikutnya, membuat pembaca kecanduan serta penasaran ….
Dan kelihatannya rasa penasaran akan kejanggalan hubungan segitiga Malefactor-
Sherlock – Irene Doyle ( terutama cewek satu ini, bikin jengkel atas
tindak-tanduknya ) akan terungkap lebih jauh di kasus ke-3 ( lihat ‘sneak-peak’
buku kelanjutannya he..he.. )
Tentang Penulis :
Shane Peacock lahir
di Thunder Bay, Ontario tahun 1957. Ia memulai karir menulisnya sebagai seorang
jurnalis dan menerbitakan beberapa hasil tulisannya di Saturday Night, Reader’s
Digest dan Sport Illustrated. Karyanya “The Boy Sherlock Holmes”, telah meraih
beberapa penghargaan, di antaranya :
·
Booklist “Top Ten in Young Mysteries”
·
Pemenang Arthur Ellis Award for Juvenile Crime Fiction
·
Pemenang Medali Emas dalam Penghargaan Foreward Magazine’s Book of
the Year
·
Pemenang Penghargaan IODE’s Violet Downey Book
Saat ini Shane
tinggal dengan istrinya, Sophie Kneisel, dan ketiga anaknya di sebuah lahan
pertanian dekat Cobourg, Ontario. Di saat senggangnya, Shane suka bermain hoki,
membaca buku dan berimajinasi bahwa dirinya adalah pahlawan dalam setiap
cerita.
Best Regards,
* HobbyBuku *
hmmm....spin off nya Holmes ya?
ReplyDeleteSebenernya sih dr reviewnya kayak menarik nih cerita, mbak. Tapi kayaknya aku gak mo baca dulu aahh. Takut merusak image Sherlock versi Doyle yg udah ketanam banget di otakku X)
Mo liat endingnya dulu kayak apa.
Ditunggu review buku ke-3 ya
memang beda banget dgn karya Sir Arthur Conan Doyle, tapi lumayan menarik karena ini menelusuri riwayat young Sherlock sehingga ia menjadi detektif handal yang terkenal...
Delete