Judul Asli : THE
INNOCENCE OF FATHER BROWN
Copyright © by G.K. Chesterton
Penerbit Visimedia
Alih Bahasa : Fahmy Yamany
Editor : Muthia Esfand
Proofreader : Tim Readaksi Visimedia
Desain Cover : Nuruli Khotimah
Cetakan I : Januari 2013 ; 492 hlm
Rate : 3,5 of 5
Saat mendengar
sebutan ‘detektif’ secara otomatis kita akan membayangkan sosok dengan jubah
kotak-kotak, topi laken serta senantiasa membawa kaca pembesar dan menarik
perhatian publik, sebuah gambaran yang tak pelak dipopulerkan oleh karakter
Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Namun pada kehidupan nyata, para
detektif ini justru memiliki karakter sebaliknya, tidak menonjol sehingga mampu
berbaur dalam masyarakat, melakukan pengamatan secara diam-diam. Salah satunya
adalah karakter yang diciptakan oleh G.K. Chesterton, sosok seorang pastor
(pemuka agama Katolik) yang bertubuh mungil, berwajah bundar dan memiliki
penampilan lugu serta polos, namun di dalamnya menyimpan kemampuan luar biasa
yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, hingga ia mampu memecahkan aneka
permasalahan serta misteri yang sangat pelik bagi kalangan hukum.
“Apakah otak saya akan melakukan lompatan besar dan melihat semuanya ? Semoga Tuhan membantu saya !” [ Father Brown | The Secret Garden ]
Father Brown –
panggilan akrab beliau adalah pastor Katolik yang sering berkeliling di
berbagai wilayah serta negara dalam melaksanakan kewajibannya. Pemahaman
tentang sifat dasar manusia serta kegemarannya untuk mengamati situasi di
sekelilingnya, membuat dirinya mampu ‘melihat’ sesuatu dari sudut-pandang yang
berbeda sekaligus detail yang acapkali dilupakan atau tak diperhatikan oleh
pihak lain. Meski beliau menggunakan sistem serta metode analisa guna
mengungkapkan berbagai masalah serta misteri yang tak terpecahkan, hasil akhir
kisahnya sangat berbeda dengan kisah misteri ala detektif pada umumnya. Karena
Father Brown memiliki misi tersendiri yaitu menyelamatkan jiwa-jiwa yang
tersesat, sehingga alih-alih melaporkan pada pihak berwajib, beliau justru sering
‘melepaskan’ sang tersangka yang dianggap masih memiliki kesempatan untuk
memilih jalan hidup yang lebih baik.
Salah satunya
adalah Flambeau – sosok pencuri ternama yang dicari di berbagai negara akibat
perbuatannya. Pada berbagai kejadian, keduanya bersilang-pendapat, bertemu
dalam situasi yang cukup unik. Dan berkat ketekunan dan keuletan Father Brown,
akhirnya Flambeau mengundurkan diri dari dunia-hitam dan alih profesi menjadi
seorang detektif yang acapkali didampingi sang pastor sebagai penasehat sekaligus
pengamat ulung. Dalam rangkaian 12 kisah misteri serta kasus yang memiliki
keunikan yang berbeda, pembaca akan dibawa menelusuri pemikiran Father Brown
dalam mengungkap kasus demi kasus, termasuk hasratnya untuk ‘menolong’ siapa
pun yang membutuhkan bantuannya, pihak yang benar maupun salah. Salah satu yang
cukup menonjol adalah ‘empati’ sosok Father Brown dalam menangani setiap
individu, membuat kita berpikir lebih jauh guna menelisik apa yang ada dalam
hati manusia, alih-alih sekedar melihat tampilan luar atau apa yang terlihat
‘nyata’ di mata umum.
“Pasti sangat sulit menjadi seorang lelaki terhormat, tetapi saya kadang-kadang berpikir bahwa hal itu hampir sama sulitnya dengan menjadi seorang pelayan.” [ Father Brown | The Queer Feet ]
Kontradiksi antara
karakter protagonis dan antagonis yang akhirnya justru digambarkan dalam
kondisi yang terbalik, seperti pada kasus yang melibatkan Aristide Valentin –
Kepala Polisi Prancis dan Flambeau – Pencuri ternama dan buronan paling dicari,
diungkapkan secara brilian oleh Father Brown bahwa hanya salah satu yang bisa
‘diselamatkan’ jiwanya, terlepas dari profesi atau status sosial yang disandang
oleh masing-masing karakter. Sosok Father Brown ini sedikit mengingatkan akan
salah satu karakter utama Agatha Christie yaitu Miss Jane Marple – yang
digambarkan sebagai ‘perawan-tua’ yang manis, mungil dan pendiam serta penurut,
ternyata memiliki kekuatan serta kecerdasan dalam mengungkap aneka misteri
(terutama pembunuhan) dengan kemampuannya untuk melihat sifat manusia di balik
semua tampilan luar.
“Bagaimana Anda bisa mengetahui semuanya ? Apakah Anda ini setan ?” __Father Brown : “Saya seorang laki-laki. Dan karenanya memiliki setan hati saya. Saya mengatakan bahwa saya tahu semuanyaa, tetapi, tidak seorang pun akan tahu. Langkah selanjutnya harus diambil oleh Anda, saya tidak akan mengambil langkah lebih lanjut, saya akan menutupnya dengan sakramen pengakuan. Saya meninggalkan keputusan ini kepada Anda karena Anda belum tersesat cukup jauh, seperti yang terjadi pada seorang pembunuh.” [ Father Brown | The Hammer of God ]
Dari ke-12 kisah
yang terangkum, beberapa merupakan favorit-ku yaitu : The Blue Cross (Salib
Biru) yang sangat unik sekaligus penuh humor, sedikit mengingatkan akan kisah
Misteri Patung Napoleon dari kisah Sherlock Holmes, The Queer Feet (Kaki Aneh),
The Wrong Shape (Bentuk Yang Salah) yang menunjukan analisa mendalam tentang
manusia hingga membawa pada pengakuan tertulis dari sang tersangka, dan The
Hammer of God (Palu Tuhan) serta The Eye of Apollo (Mata Apollo) yang sedikit
mengupas masalah pandangan politik serta pertentangan akan keyakinan sebagai
manusia dan sebagai pemeluk agama yang berbeda. Terlepas dari beberapa
kejanggalan gaya bahasa yang dipilih untuk ‘menerjemahkan’ gaya penulisan klasik,
ide serta alur kisahnya tetap mampu mengundang daya tarik tersendiri serta rasa
penasaran untuk mengungkap misteri demi misteri hingga akhir kisahnya.
Tentang Penulis :
Beliau menikah
dengan Frances Blogg yang menemaninya hingga akhir hayat. Sedangkan karirnya,
meningkat menjadi kolumnis tetap pada tahun 1902 di harian Daily News, disusul
sebagai kolumnis di The Illustrated London News di tahun 1905 yang dijalani
selama hampir 30 tahun. Beliau bahkan sempat menerbitkan surat kabar sendiri
yang bernama G.K.’s Weekly.
Tema penulisannya
diwarnai dengan filosofi, ontologi, sejarah, puisi, drama, kritik sastra dan
seni, biografi, teologi Kristen serta fiksi (terutama perpaduan genre fantasi,
misteri dan detektif). Karya fiksinya banyak mengandung nilai-nilai filsafat
serta pandangan seputar teologi. Kegemarannya memasukkan berbagai majas dan
ungkapan umum membuatnya dijuluki sebagai “prince of paradox”. Salah satu
kegemaran lainnya adalah bertukar pikiran serta berdebat dengan berbagai tokoh
Inggris secara publik, seperti George Bernard Shaw, H.G. Wells, bertrand
Russell dan Clarence Darrow.
G.K. Chesterton
meninggal pada tanggal 14 Juni 1936 di kediamannya di Beaconfield.
Buckinghamshire, akibat gagal jantung. Sepanjang hidupnya beliau telah menulis
lebih dari 80 judul buku, ratusan puisi, 200 cerita pendek, 4.000 esai, dan
beberapa naskah drama. Novelnya yang paling populer selain serial detektif
Father Brown, adalah The Man Who Was Thursday.
[ more about the
author and related works, check on here : G.K. Chesterton ]
Best Regards,
* Hobby Buku *
No comments:
Post a Comment