Books
“PEMBUNUHAN MONOGRAM”
Judul Asli : THE MONOGRAM MURDERS
[
book 1 of HERCULE POIROT MYSTERY ]
by Sophie Hannah
Copyright © 2014 by
Agatha Christie Limited
Penerbit Gramedia
Pustaka Utama
Alih Bahasa : Iingliana
Tan
Desain &
ilustrasi sampul : Eduard Iwan Mangopang
Cetakan I : September
2014 ; 376 hlm ; ISBN 978-602-03-0755-8
Rate
: 3 of 5
Saat
pertama kali mendengar kabar bahwa akan diterbitkan kisah terbaru petualangan
Monsieur Hercule Poirot – salah satu karakter legendaris dari buah tangan sang
Ratu Misteri : Dame Agatha Christie, kegirangan sekaligus cemas muncul di
benakku, karena keinginan untuk ‘bersua’ kembali dengan pria unik asal Belgia
yang memiliki karakter tiada duanya, sekaligus ketakutan jika usaha untuk
‘menghidupkan’ kembali sosok yang telah dinyatakan telah tiada oleh sang
penciptanya, tidak memenuhi harapan serta ekspektasiku selaku penggemar setia.
Dengan desain dan ilustrasi sampul yang langsung membuatku jatuh-hati, akhirnya
tiba juga buku yang kunantikan seminggu sebelum peluncuran resmi secara
serentak. Lalu mengapa membutuhkan hampir berminggu-minggu kemudian untuk
meluncurkan postingan review ini ... karena ada beberapa hal yang perlu
‘ku-endapkan’ sebelum sisi emosional mengambil alih jari-jemariku untuk menulis
murni berdasarkan penalaran alih-alih berisikan curahan hati belaka (^_^)
Dibuka
dengan adegan kala Hercule Poirot yang sedang menjalani masa istirahatnya,
mendapat kejutan yang mengguncang hati serta pikirannya kala ia sedang berusaha
menyelesaikan makan malamnya di salah satu cafe kesukaannya. Munculnya sosok
wanita yang kemudian diketahui bernama Jennie dalam kondisi kacau balau,
mengusik ketenangan Poirot karena ia menyadari ketakutan akan teror yang
melanda wanita tersebut. Sebelum Poirot sempat menggali lebih dalam apa yang
menjadi permasalahan, Jennie menghilang dan meninggalkan Poirot gelisah
sekaligus ketakutan akan sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi. Di sisi
lain kota, tepatnya di Hotel Bloxham telah terjadi peristiwa aneh. Tiga orang tamu
ditemukan tewas dalam waktu yang bersamaan, dimana sekilas pandang pada lokasi
pembunuhan, ketiganya tewas dengan cara yang sama, walau ketiga korban tampak
tidak memiliki hubungan satu sama lain. Pihak yang menangani kasus tersebut
adalah Edward Catchpool – dari Scotland Yard, yang kebetulan juga tinggal di
kamar sewaan di apartemen yang kini ditempati oleh Poirot selama 6 minggu
terakhir.
“Oh, tolong jangan biarkan siapa pun membuka mulut mereka ! Kejahatan ini tidak boleh dipecahkan. Berjanjilah pada saya bahwa Anda akan menyampaikannya kepada teman polisi Anda, dan pastikan dia setuju ? Kalau Anda menjunjung keadilan, tolong lakukan seperti yang saya minta.” [ ~ Jennie to Poirot | from ‘Monogram Murders’ at p. 16 ]
Richard
Negus, Harriet Sippel dan Ida Gransbury ditemukan tewas akibat racun di kamar
yang berbeda. Petugas hotel melakukan pemeriksaan karena menerima sebuah
catatan aneh di meja resepsionis dengan tulisan : “Semoga mereka tidak pernah
beristirahat dengan tenang. 121.238.317”. Di dalam mulut ketiga korban
ditemukan manset dengan monogram PIJ, sehingga dugaan awal bahwa mereka
melakukan bunuh diri sempat muncul, hingga Hercule Poirot datang untuk
melakukan pemeriksaan langsung, lebih didorong akibat perkataan Jennie sebelum
ia lari meninggalkan cafe malam sebelumnya. Poirot menemukan bahwa ketiga
korban tidak mungkin melakukan bunuh diri secara massal. Meski demikian, hal
tersebut masih menimbulkan tanda tanya besar, apa alasan di balik kematian ketiga
manusia yang sekilas tampak tak berhubungan, kecuali mereka semua pernah dan
sebagian masih tinggal di Great Holling, Culver Valley. Demi mendapatkan
jawaban misteri yang menyelubungi kasus ini, Poirot ‘mengutus’ Edward Catchpool
untuk menelusuri jejak para korban, kembali ke Great Holling.
Ok,
dari awal mula pembukaan hingga sekitar seperempat halaman, ada berbagai hal
yang mengusik diriku hingga sulit untuk berkonsentrasi apalagi menikmati kisah
ini. Hal ini disebabkan karena penggambaran karakter Hercule Poirot yang
muncul, sangat bertolak-belakang dengan karakter maupun ciri khas sosok yang
unik ini. Seperti bagaimana ia menikmati hidangan kopi secara rutin, penggemar
Poirot tentu tahu bahwa ia menyukai cokelat hangat yang manis, satu-satunya
minuman ‘pahit’ yang dikonsumsi adalah ‘tisane’ – ramuan khusus untuk
menyembuhkan aneka penyakit (terutama flu). Kemudian bagaimana Poirot dalam
usaha menemukan ketenangan dan ilham untuk memecahkan kasus, justru mengajak
Catchpool keliling kota, naik-turun bus tanpa tujuan yang jelas. That’s not Poirot
at all !! Ia akan memilih duduk diam
dalam ketenangan membiarkan ‘sel-sel kelabu-nya’ berputar hingga ‘click’ sebuah
ide akan muncul di benaknya. Ini hanya contoh beberapa hal yang mengganggu
diriku sepanjang membaca kisah perdana yang digembar-gemborkan akan ‘membawa-kembali’
sosok Hercule Poirot.
Faktor
berikutnya menyangkut keterlibatan karakter Edward Catchpool – di mana ia
justru memegang porsi yang lebih besar dalam penyelidikan kasus ini
dibandingkan hadirnya Poirot. Sayangnya karakter Catchpool sama sekali tidak
mampu membangkitkan daya tarik, alih-alih ada sedikit rasa jengkel karena
kepribadiannya yang tidak percaya diri (padahal status jabatannya cukup tinggi)
bahkan dalam usaha menguraikan benang-benang kusut yang membungkus misteri
kasus ini, ia melakukannya dengan rasa enggan dan hanya karena sedikit ‘takut’
akan amukan dan omelan Poirot jika hasil laporannya tidak memuaskan. Apakah ini
gambaran sosok yang layak dijadikan panutan or at least menempati posisi ‘partner’
Poirot ? Terus terang Kapten Hastings yang serba melodramatis justru jauh lebih
mengesankan dibandingkan sosok Catchpool. Perjalanan dan perkembangan karakter
Catchpool maupun Poirot, terasa mengalami pergantian berulang kali, di mana
pada saat-saat tertentu diriku justru menangkap gaya ala Sherlock Holmes dan
Watson alih-alih analisa ala Poirot yang mengutamakan pemikiran psikologis.
Kasus
utama yang terjadi di kota besar kemudian ternyata bermula dari insiden di
sebuah desa kecil, lengkap dengan aneka karakter, detil serta skandal yang mau
tidak mau mengingatkan diriku akan ciri khas kasus-kasus yang ditangani oleh
Miss Marple. Terus terang karena ini buku pertama karangan Sophie Hannah yang
kubaca, diriku tak bisa membandingkan atau menilai sejauh mana beliau pakar
dalam penulisan kisah misteri dan bagaimana gaya penulisannya. Namun satu hal
yang bisa kukatakan tentang buku ini, mengapa dipaksakan membawa ‘nama besar’
Agatha Christie bahkan mengadopsi salah satu karakternya yang sangat dikenal
dengan ciri khasnya yang unik, jika ternyata dibuat versi yang sama sekali
berbeda ? Yang lebih membingungkan, penulis melakukan ‘perombakan’ ini
setengah-setengah, alhasil karakteristik yang muncul menjadi bias dan mudah
terlupakan. Jika hendak melakukan perombakan, sekalian saja dibuat jauh
berbeda, seperti penulis Laurie R. King yang menciptakan versi baru Sherlock
Holmes beserta ‘muridnya’ Mary Russell, yang justru mampu menimbulkan kesan
tersendiri. I'm So Disappointed (-__-)
![]() |
[ source ] |
[ more about the author &
related works, just check at here : Sophie
Hannah | on
Goodreads | on Wikipedia
| at Twitter ]
~ This Post are
include in 2014 Reading Challenge ~
94th Book
in Finding New Author Challenge
232th Book
in TBRR Pile
Best Regards,
Hobby Buku
No comments:
Post a Comment