Judul Asli : THE DAY OF THE JACKAL
Copyright ©Frederick Forsyth 1971
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Alih Bahasa : Ranina B. Kunto
Editor : Adi Toha
Cetakan I : Juni 2011 ; 610 hlm
Rate : 3 of 5
Rate : 3 of 5
Apa yang terjadi jika ideologi sebuah
negara bergantung pada pola pikir sang pemimpin, yang mengalami pergantian
kekuasaan silih-berganti ? Tentu saja akan terjadi ‘pergesekan dan pergeseran’
antara pihak yang berkuasa dan pihak yang kalah, dengan kata lain akhirnya
timbul kudeta dan peperangan.
Pemerintahan Prancis yang disebut
sebagai Republik Keempat, yang terkenal penuh korupsi dan pengaruh komunis,
akhirnya pada Juni 1958, berhasil digulingkan oleh Jenderal de Gaulle yang
menjabat sebagai Perdana Menteri Prancis saat itu, dan beliau terpilih dengan
pendukung dari berbagai penjuru Prancis sebagai Presiden Republik Kelima, siap
memasuki Istana Elysée pada
Januari 1959. Dengan keras Presiden Charles de Gaulle memimpin dan memulihkan
kondisi negara, melalui berbagai kebijaksanaan baru tanpa kompromi, menolak
pengruh-pengaruh asing, dan berusaha mendirikan negara Prancis yang murni dan
bangga akan statusnya.
“Anda dihadapkan dengan pilihan soal kesetiaan. Sayalah Prancis, instrumen takdir negara ini. Ikutlah saya. Patuhilah saya.”
Demikianlah siaran radio yang disiarkan secara nasional
pada Juni 1940, pidato Presiden de Gaulle yang menimbulkan berbagai pendapat
serta perpecahan di antara pendukungnya. Terutama setelah kebijakan baru
mengenai status Aljazair yang tidak termasuk dalam rencana pemulihan negara dan
bangsa Prancis. Penduduk Aljazair yang juga banyak merupakan rakyat Prancis,
turut berperan serta dalam mendukung peperangan sekian lama, menelan banyak
korban jiwa demi perjuangan dan membela harkat bangsa Prancis. Dan pada
akhirnya, Presiden de Gaulle justru mengikat kerjasama dengan ‘mantan musuh’
dan tidak memperdulikan kesejahteraan rakyat Aljazair ... setidaknya itulah
pemikiran para pendukung yang berbalik membenci dan mengutuk Presiden de Gaulle.
Sebagai seorang pengkhianat bangsa, maka jalan satu-satunya ia harus segera
‘dimusnahkan’ –maka dibentuklah kelompok yang berniat membunuh sang Presiden.
Dari sekian banyak kelompok pemberontak
baru ini, yang terbesar adalah OAS (Organization L’Armée Secréte) – organisasi
besar yang didukung oleh dana yang tidak sedikit dari para simpatisan yang
tidak menyukai kebijakan Presiden de Gaulle, yang mengkoordinir berbagai kegiatan kejahatan kecil maupun
besar dengan tujuan merongrong pemerintahan Prancis. Namun agenda no. 1 dalam
kegiatan mereka adalah pembunuhan sang presiden. Dan puncaknya pada tgl. 22
Agustus 1962, melalui penyelidikan serta perencanaan sekian lama, dilakukan
pembunuhan terhadap rombongan Presiden di Petit-Clamart, dan rencana itu gagal !!
Kegagalan akibat kesalahan fatal akan sebuah detil kecil yang justru menentukan
keselamatan sang Presiden, akhirnya menyeret sang pemimpin OAS Letnan Kolonel
Jean-Marie Bastien-Thiry pada hukuman dengan tuduhan konspirasi menentang
negara. Dan pada tgl. 11 Maret 1963, ia dieksekusi, diikuti dengan sederetan
pengikut setianya yang diburu dan ditangkap oleh Dinas Aksi – suatu badan
rahasia yang bergerak bebas untuk menjalankan perlindungan terhadap apa saja
yang dianggap membahayakan / menyerang negara Prancis. Dinas Aksi bertindak
cepat, setelah kematian sang pemimpin OAS, giliran wakil OAS : Antoine Argoud,
yang juga merupakan kepala operasi OAS, diculik dan ditempatkan di tempat
persembunyian rahasia guna diinterogasi. Boleh dikatakan, Antoine Argoud tidak
akan pernah kembali ke dunia luar.
March Rodin – wakil Antoine Argoud , memilih
bersembunyi di Austria, guna mempertahankan jaringan OAS. Namun ia khawatir
dengan perkembangan yang menimpa organisasinya. Para pengikut serta para
donatur setia, perlahan-lahan menghilang, semua merasa takut akan terseret
dalam penangkapan yang dilakukan oleh Dinas Aksi. March Rodin sadar,
satu-satunya cara mencegah keruntuhan OAS adalah mewujudkan rencana terbesar :
membunuh Presiden de Gaulle, tapi bagaimana caranya ? Dan setelah memutar otak
dan mencoba berbagai alternatif dalam benaknya, ia mendapatkan sebuah ide
brillian, ide yang hanya bisa berjalan dengan segelintir orang saja. Maka
dibuatlah pertemuan rahasia di Pension Kleist di Bruckneralle, Wina, mengundang
René Montclair dan André Casson, keduanya merupakan tangan kanan March Rodin dan
orang-orang kepercayaannya. Rodin hanya didampingi pengawal pribadinya Viktor
Kowalski, demi menjaga agar rahasia tidak bocor, apalagi dengan banyaknya
mata-mata yang disusupkan oleh Dinas Aksi ke dalam badan OAS. Pertemuan
ketiganya segera disusul dengan pertemua rahasia berikutnya, pertemuan yang
akan mewujudkan konspirasi rahasia pembunuhan Presiden Prancis. Belajar dari
pengalaman akan kegagalan-kegagalan sebelumnya, maka kali ini OAS tidak
bertindak sendiri, melainkan memanggil ‘tenaga ahli’ dari pihak luar. Mereka
memanggil seorang pembunuh bayaran dengan kode julukan ‘Sang Jackal’.
Setelah itu sepanjang Juni-Juli 1963,
Prancis diguncang dengan merebaknya kejahatan terhadap perbankan dan toko-toko
permata, serta serangan terhadap kantor-kantor pos. Pihak Kepolisian mengalami
jalan buntu dalam penyelidikan kasus-kasus tersebut. Tampaknya kegiatan itu
diorganisasi sangat rapi dan jalurnya sangat rahasia. Bahkan oknum-oknum pelaku
yang tertangkap hanyalah penjahat biasa yang tidak tahu menahu tentang operasi
yang terjadi, mereka hanyalah pelaku yang menerima perintah dari mafia
kejahatan. Kasus-kasus ini segera menjadi perhatian Komisaris Maurice Bouvier,
kepala Brigade Kriminal Police Judiciare (PJ) yang sangat disegani. Beliau
menaruh kecurigaan besar, ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik berbagai
perampokan yang tiba-tiba melanda. Tanpa bukti lebih lanjut, beliau berusaha
tetap ‘mengamati’ perkembangan yang terjadi.
Di sisi lain, ketiga ‘pentolan’ OAS
yang masih belum tertangkap, tetap dalam pengawasan ketat mata-mata Dinas Aksi.
Dan Jenderal Guibaud – pimpinan SDECE, sedikit heran mengapa ketiga tokoh
kriminal itu justru berkumpul di satu tempat, tak melakukan kegiatan yang mampu
mengundang ‘kedatangan’ pihak berwajib. Semuanya tampak aneh dan mencurigakan,
namun tanpa ada kejelasan atau bukti nyata apa yang akan terjadi. Hingga suatu saat Kepala Dinas Aksi Kolonel
Roland – mengamati lebih lanjut berbagai laporan yang masuk tentang berbagai
peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, dan ia menemukan suatu hal
yang cukup ‘menakutkan’ – adanya kecurigaan telah terjadi rencana pembunuhan
terbaru yang sedang berlangsung.
Kesan :
Membaca buku ini pada awal halaman-halaman
depan sungguh sangat monoton, dan membosankan, hampir saja kuletakkan karena
seperti membaca buku pelajaran sejarah jaman sekolah dulu ... untungnya kucoba
teruskan hingga menjelang pertengahan, akhirnya mulai sebuah misteri muncul,
menimbulkan rasa penasaran yang makin berlanjut hingga tak terasa halaman
terakhir pun selesai.
Seperti
semua penulis thriller yang berkutat dengan seting sejarah, sungguh sulit untuk
tidak terjebak dengan berbagai penjelasan serta detil yang cukup bagus namun
jika tidak hati-hati maka bisa terjebak pada penjelasan yang monoton dan
membosankan. Ini merupakan pertama kali diriku membaca karya penulis, dan harus
kuakui meski tidak terlalu suka dengan gaya penulisannya, tapi kisah serta ide
yang diberikan cukup menarik untuk disimak lebih lanjut.
Memanfaatkan fakta-fakta akan
pemeriantahan era Presiden Prancis Charles de Gaulle, muncul sebuah kisah
mata-mata yang penuh dengan intrik dan misteri layaknya kisah klasik spionase.
Yang sedikit berbeda, penulis berusaha menampilkan kisah dari sudut pandang
berbagai pihak, sehingga tidak ada tokoh utama / tokoh sentral dalam kisah ini,
menjadikan kisah ini kaya akan variasi namun tetap terjaga hingga tidak terlalu
melebar hingga membingungkan para pembaca. Kekurangan dari gaya penuturan
seperti ini, pembaca kurang dapat berinteraksi lebih dekat dengan para
tokoh-tokohnya. Dan ini yang menjadikan kisah semacam ini sedikit ‘kurang dikenang’ setelah kita
selesai membacanya. Bukan berarti ini sebuah kisah yang tidak bagus, tapi
terlalu banyak ‘bumbu’ bisa menghilangkan rasa asli / esensi dari sebuah
kreasi.
Sosok misterius pembunuh yang disebut
sebagai ‘Jackal’ sebetulnya cukup mengundang jika dapat dijadikan tokoh utama.
Tapi gambaran tentang sosok ini bercampur-baur dengan peran sertanya dan
gambaran tentang perjalanannya berkeliling dunia. Demikian juga dengan sosok
lawannya : Komisaris Claude Lebel –
Kepala Divisi Pembunuhan, wakil Kepala PJ yang terpilih untuk melacak
keberadaan sang Jackal. Meski ada gambaran sekelumit tentang perjuangannya,
namun siapakah diri Claude Lebel tidak terungkap lebih jelas. Sekedar
perbandingan dengan sosok Bourne dalam novel Robert Ludlum atau sosok Jack Ryan
dalam karya Tom Clancy, dalam satu novel ( sebelum pembaca membaca serialnya )
terbentuk perkembangan karakter dan kepribadian tokoh-tokohnya, sehingga
pembaca mampu mengikat-diri dan memahami lebih dalam.
Terlepas dari beberapa kekurangan di
atas, novel ini patut mendapat pujian karena penulis mampu mengolah fakta-fakta
yang ada, beberapa kebenaran dan kisah bersejarah serta tokoh-tokoh yang nyata,
menjadi sebuah bacaan fiksi yang menghibur sekaligus memukau pembacanya, tanpa
terlalu berkesan sebagai ‘buku panduan sejarah’. Kemungkinan kemampuannya
sebagai seorang jurnalis, sangat bermanfaat dalam mengolah materi nyata menjadi
kisah yang disukai dan pasti menarik untuk dibaca. Bagi Anda yang menggemari
kisah misteri serta thriller modern dengan detil-detil sejarah serta
fakta-fakta yang menggugah rasa ingin-tahu lebih dalam, maka ini adalah bacaan
yang cocok dan layak untuk disimak lebih lanjut (^_^)
Tentang Penulis :
Frederick Forsyth, lahir pada tanggal 25 Agustus 1938, seorang penulis asal Inggris
sekaligus pengamat politik. Lahir di Ashford, Kent, ia mengambil pendidikan di
Tornbridge School, yang dilanjutkan ke Universitas Granada di Spanyol. Setelah
lulus, ia melamar sebagai seorang jurnalis di kantor berita Reuter pada tahun
1961, dan beralih ke BBC pada tahun 1965 di mana ia juga bertugas sebagai
asisten koresponden diplomatik. Selama bulan Juli – September 1967 ia meliput
Perang Sipil Nigeria sebagai koresponden khusus antara Biafra dan Nigeria. Dan
setelah meninggalkan BBC pada tahun 1968, ia kembali ke wilayah Biafra sebagai
reporter lepas dan menghasilkan karya tulis pertamanya pada tahun 1969 dengan
judul ‘The Biafra Story.’
Keberhasilannya pada buku pertama,
mendorong jiwa menulisnya untuk menghasilkan novel dengan menggunakan kemampuan
dan pengamatan jurnalisnya. Maka lahirlah novel pertama “The Day of The Jackal” pada tahun
1971, yang kemudian menjadi Internasional Bestseller dan memenangkan ‘Edgar Allan Poe Award’ untuk kategori
Best Novel. Kesuksesan fiksi yang berdasarkan kenyataan, akan adanya organisasi
OAS OAS (Organization L’Armée Secréte) – sebuah kelompok teroris yang mengancam
kelangsungan hidup Presiden Prancis Charles de Gaulle, membuat kisah ini
diangkat ke layar lebar dengan judul sama pada tahun 1973, disutradarai oleh
Fred Zinnemann, dibintangi oleh Edward Fox, Terence Alexander dan Michael
Auclair. Pada tahun 1997, rilis sebuah film dengan judul “The Jackal” yang
disutradarai Michael Caton-Jones, dibintangi oleh Richard Gere dan Bruce Wilis.
Judul yang beredar telah dirubah setelah terjadi negosiasi antara Frederick
Forsyth, Fred Zinneman dan pihak pembuat film ini, agar tidak terjadi kerancuan
dengan novel maupun film adaptasi sebelumnya, karena kisah dalam film ini
sangat berbeda dengan novel “The Day of The Jackal”.
Menyusul keberhasilan novel pertama,
karya berikutnya “The Odessa File” pada
tahun 1972, yang berkisah tentang perjalanan seorang reporter untuk melacak
keberadaan seorang mantan anggota Nazi, seorang perwira SS – organisasi rahasia yang
merupakan pasukan setia Hitler. Dan
kisah ini juga diangkat ke layar lebar dibintangi John Voight. Setelah
itu berturut-turut novel ketiga “The Dogs of War” yang rilis tahun 1974,
mengikuti jejak dan kesuksesan serupa, demikian juga “The Fourth Protocol”
(1984), “The Negotiator” (1989), dan “The Deceiver” (1991). Beliau juga mencoba
menulis novel pada genre yang berbeda berjudul “The Phantom of Manhattan” yang
merupakan sekuel dari novel klasik “The Phantom of The Opera” - namun sayangnya novel ini tidak mendapat
respons yang bagus, sehingga akhirnya beliau memutuskan kembali pada genre
penulisan yang dikenalnya, thriller-suspence.
Info selengkapnya tentang Frederick
Forsyth, silahkan kunjungi situs resminya di : http://www.frederickforsyth.co.uk/
Best Regards,
* Hobby Buku *
Agak jadul, sih. Baru terbit sekarang. Lumayan, apalagi buat yang sudah nonton filmnya...
ReplyDeleteblogwalking...^^
Thank you sdh mampir Fiberia :D, iya sdh jadul, tapi penerbitnya berusaha mengeluarkan seri suspense karya FF ini, meski aq lebih suka gaya Robert Ludlum dan Tom Clancy :D
Delete